Respon Kemenkes soal Rencana Penyebaran Nyamuk Wolbachia yang Ramai-ramai Ditolak

Respon Kemenkes soal Rencana Penyebaran Nyamuk Wolbachia yang Ramai-ramai Ditolak

TA Program penyebaran nyamuk dengan teknologi Wolbachia atau nyamuk ber wolbachia terus mendapat penolakan seperti di Kota Bandung dan Bali. Hal ini kemudian direspons oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan RI dr. Imran Pambudi MPHM yang ditemui di Jakarta, Selasa (19/12/2023). Ia mengatakan, sejak diperkenalkan ke publik intervensi sebut sudah sering mendapatkan penolakan.

Padahal pihaknya menyatakan, upaya tersebut dapat menurunkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengeu (DBD). "Kalau nihil kasus DBD enggak menjamin. Tapi ini upaya untuk menihilkan kematian," ujar dia. Respon Kemenkes soal Rencana Penyebaran Nyamuk Wolbachia yang Ramai ramai Ditolak

Gelar Aksi Edukasi, GEMAKAN Tolak Penyebaran Nyamuk Wolbachia Kemenkes Sebut Tak Ada Kaitan Nyamuk Wolbachia dan Keganasan Nyamuk Aedes Aegypti Penyebab DBD Penyebaran Nyamuk Wolbachia di Ujungberung Bandung Ternyata Kurang Efektif, Dinkes: Tunggu September

Respon Puan Maharani Setelah Akademisi Ramai ramai Kritik Jokowi: Biar Rakyat yang Menilai Mengenal Nyamuk Wolbachia yang Disebar Pemerintah Indonesia Dinkesdukcapil Provinsi NTT Imbau Masyarakat Tak Takut Soal Nyamuk Wolbachia

Pihaknya pun menghormati penolakan yang dilakukan sejumlah pihak dan masih berupaya untuk melakukan sosialisasi melalui key person, seperi tokoh masyarakat dan agama. "Jadinya harus melakukan pendekatan. Kami prinsipnya jika ada masyarakat yang belum setuju kita pasti lakukan pendekatan dulu sampai kondusif," tutur dr.Imran. Diketahui Kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1968, di Jakarta dan Surabaya.

Saat itu, tingkat kematiannya sangat tinggi karena belum diketahui penyakitnya. Seiring waktu, tingkat kematian akibat DBD makin menurun, tetapi angka kejadian masih tetap tinggi. Hal ini terlihat dari penurunan kasus dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143.000 kasus dan 1.236 kematian, sedangkan tahun ini hanya terjadi 85.900 kasus dan 683 kematian. Salah satu intrvensi pada lingkungan adalah intervensi pada vektor (nyamuk).

Adapun intervensi pada vektor misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, dan fogging atau obat semprot sebagai insektisida. “Intervensi vektor yang ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber Wolbachia,” ujar dr. Imran. Ia menjelaskan, telah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan kasus dengue.

Penolakan dan kekhawatiran pada sebagian masyarakat mengenai nyamuk ber Wolbachia ini disayangkan oleh dosen FKM UI dan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M. Ia menegaskan, keputusan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah berdasarkan data dan bukti ilmiah, bukan opini. Berbagai penelitian yang membuktikan manfaat dan keamanan nyamuk ber Wolbachia selayaknya dijadikan landasan untuk melanjutkan pilot project ini ke kota kota berikutnya. Menurutnya, dengue termasuk salah satu neglected disease atau penyakit yang terabaikan, padahal masih jadi masalah besar di Indonesia.

“Kita punya target untuk menurunkan case fatality rate. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapainya yaitu dengan mmodifikasi vektor dengue, yaitu dngan nyamuk ber Wolbachia,” ujarnya. Penjelasan Pakar Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D, menjelaskan bahwa pilot project nyamuk ber Wolbachia dilakukan di Yogyakarta. Dengan menggandeng di antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial.

“Sebelum kami melakukan penelitian tersebut dalam skala besar, kami lakukan dulu pengkajian selama enam bulan yang melibatkan 20 oran ahli dari berbagai bidang," ungkap dr Riris. Berdasarkan literature review dan kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang bisa terjadi adalah yang paling rendah, yang biasa ditemukan sehari hari dan bisa diabaikan. Nyamuk ber Wolbachia bukanlah rekayasa genetika.

“Untuk menyangkal hal ini, kita bisa merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi dan genetic modified mosquito,” tutur dr. Doni Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup dalam tubuh serangga. Wolbachia tidak mengubah karakter nyamuk. Tidak ada perbedaan bermakna antara nyamuk ber Wolbachia di wilayah intervensi dengan nyamuk alami di wilayah kontrol.

Ia melanjutkan, nyamuk ber Wolbachia juga tidak merusak lingkungan. “Tidak terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex,” imbuhnya. Pelepasan nyamuk ber Wolbachia di Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77 persen dan menurunkan kejadian rawat inap di RS hingga 86 persen. Rerata angka dengue nasional pun menurun drastic dibandingkan 30 tahun lalu.

“Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah pelepasan nyamuk ber Wolbachia, fogging turun hingga 85 persen. Ini sangat menggembirakan karena anggaran fogging bisa dialokasikan ke pengendalian penyakit lain,” ujar dr. Doni. Studi di beberapa negara lain juga menemukan bahwa nyamuk ber Wolbachia efektif menekan angka kejadian dengue. Selain itu, nyamuk ber Wolbachia memberikan proteksi jangka panjang.

Berikut 5 kota yang sudah menjalani program tersebut Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang dan Kupang. Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *